SECRET ADMIRER  

Posted by AsTeg

Mataku terpaku pada sosoknya, pada kharismanya. Fisiknya biasa saja,jangkung,dengan rambut lurus yang sengaja dipanjangkan. Malas katanya saat aku tanya mengapa dia tak memotong rambutnya. Tapi, justru itulah yang menambah pesona pada dirinya. Pesona misterius. Dia memang beda.
Benar-benar membuat pandanganku selalu berlari mengejarnya. Seperti saat ini. Walaupun ada Sean disampingku. Aku masih saja berusaha mencuri pandang ke arahnya yang memang berdiri tak jauh dari tempatku dan Sean duduk berdua, menikmati senja di pinggir danau River Side.
Sengaja, karena aku tahu rencana Ryan dan Tomy memancing disini. River Side memang tempat pemancingan umum, sebuah danau buatan dan penginapan dengan latar belakang hutan pinus. Begitu damai dan romantis. Pilihan yang tepat seandainya saja aku bisa lebih menikmati waktu bersama Sean. Tapi tidak.
Tentu saja karena Ryan lebih memikat pikiranku. Entah sejak kapan begitu
kuatnya bayang-bayang Ryan membelenggu hati dan juga pikiranku.
Tiba-tiba saja aku merasa rindu bila tak memandangnya. Begitu resah bila tak mendapati dirinya di depan rumah, asyik dengan ikan hias peliharaannya.
Gugup saat secara tak sengaja pandangan kami bertemu, di meja makan, atau saat dia mulai menyempatkan waktunya mengajariku bahasa inggris.
Yah, dia memang anak kost, sekaligus guru privat bahasa inggrisku. Ada empat kamar
di depan rumah yang disewakan ayah, semuanya terisi. Bahkan dua kamar depan yang paling besar, diisi dua orang satu kamar. Jadi totalnya ada enam anak kost dirumah. Dari semuanya, Ryan yang paling dekat dengan keluargaku. Bahkan sudah dianggap keluarga sendiri oleh ayah. Sering dia menemani ayah main catur. Kadang juga membantu Tomy, kakak semata wayangku di bengkel mobil depan gang rumah kami. Tak jarang juga, membantu ibu menyiram kembang di taman belakang yang seharusnya menjadi
tugasku. Hah, dia memang perfect, terlalu perfect malah. Teman kampusnya sering datang, meminta bantuannya mengerjakan tugas. Umurnya baru 20 tahun, tapi kuliahnya sudah tahun terakhir. Sebentar lagi dia akan menjadi sarjana Sastra Bahasa Inggris, segera setelah skripsinya selesai. Mungkin tahun ini, seperti yang sering dia bicarakan pada ayah. Makanya, ayah selalu minta padanya untuk meluangkan waktu mengajariku bahasa inggris, mata pelajaran yang paling aku benci. Tapi, aku juga tak tahu awalnya, sekarang aku lebih bersemangat mempelajari bahasa inggris. Karena aku tahu, hanya dengan cara ini aku bisa lebih dekat dengan Ryan. Lagipula, aku juga tak mau Tomy terus-terusan menjadikan aku bahan ledekan di depan Ryan gara-gara ulangan bahasa inggrisku yang sering jeblok. Soal Sean, dia juga salah satu penghuni kamar kost dirumahku. Baru 2bulan dia disini, fakultas yang sama dengan Ryan. Adik kelas, karena biarpun lebih tua setahun, Sean masih semester 5. Sejak lama dia mengutarakan perasaannya padaku, sebelum dia indekost di rumah.
Awalnya dia sering main ke kamar Ryan, hingga akhirnya oleh Ryan dikenalkan padaku. Seminggu setelah itu, terang-terangan dia mengatakan kalau dia menyukaiku. Suka pada gayaku yang tomboi dan cuek. Suka pada sikap dinginku. Suka pada hobi membaca komikku, karena dia juga pecandu komik. Yah, akhirnya aku dan Sean dekat. Hanya lebih karena dia juga maniak komik. Bukan karena dia menyukaiku. Sungguh, sedikitpun tak tercipta rasa seperti apa yang aku rasakan saat dekat dengan Ryan. Umurku memang baru menginjak 18 tahun dua bulan yang lalu, tapi, aku cukup yakin kalau yang aku rasakan pada Ryan adalah cinta. Dan aku tak merasakan itu saat
bersama Sean. Walaupun aku akui, Sean memang baik padaku. Dia juga sopan pada ayah dan ibu. Lumayan akrab juga pada Tomy, biarpun tak seakrab Ryan. Banyak temenku yang bilang, kalau punya cowok seperti Sean adalah anugrah. Tampangnya memang indo, jadi aku harus sedikit bangga dia memilih aku diantara banyak cewek yang mengaguminya. Tapi, lagi-lagi semuanya tak bisa memupuskan perasaanku pada Ryan. Sejauh ini, aku memang tak pernah menolak ajakan Sean setiap malam minggu tiba. Yah, daripada aku harus bengong di rumah. Lagipula Ryan juga jarang ada di rumah
hari sabtu dan minggu. Dia mengajar privat di tempat lain. Hanya malam minggu
ini saja dia tak menolak ajakan Tomy menginap di River Side, sekaligus memuaskan hobinya pada ikan. Katanya sih muridnya liburan ke luar kota.

Sekarang memang liburan semester. Alasan itu pula yang aku gunakan saat aku merayu Tomy agar mengajakku juga ke River Side, bersama Sean tentu saja. Dan akhirnya, kami pergi, bertujuh bersama Mas Bambang, Agus dan Mbak Reza, tetangga belakang yang sudah lama diincar Tomy. Mungkin dia mau menembaknya disini, aku tak perduli. Hanya bersyukur saja. Akhirnya si tua usil itu bisa juga jatuh cinta. Mungkin, kalau nanti mereka sudah berpacaran, waktunya akan lebih banyak digunakan pergi bersama Mbak Reza, jadi aku bisa sedikit bernafas lega terhindar dari gangguannya sepanjang hidupku. Sean memandangku, tajam namun hangat, seperti biasa. Aku tetap diam, mengalihkan perhatianku pada hutan pinus yang mulai gelap.
“Kamu gak dingin, Nya?” Aku hanya tersenyum, dan menggeleng. Udara memang lumayan dingin setelah sejam yang lalu gerimis turun, membuyarkan rencana memancing Ryan.
Akhirnya dia hanya mondar-mandir saja di teras penginapan, sementara Tomy sudah sibuk cari muka di depan Mbak Reza. Dasar! Ada-ada saja yang dilakukan. Mulai dari memesan kopi susu hangat, sampai memakaikan jaket merah besar kesayangannya pada Mbak Reza. Tapi memang sepertinya Tomy tak bertepuk sebelah tangan. Putri pujaannya itu selalu menyambut setiap tindakannya dengan senyuman dan wajah sumringah.
Bosan, aku berdiri dari tempatku duduk di samping Sean. Mulai berjalan, ke teras penginapan. Menghampiri sosok yang semakin membuatku penasaran. Sean berusaha mengejar. Menjajari langkahku.
“Mau kemana, Nya? Bentar lagi mungkin dinnernya udah siap loh.” Tanya Sean sambil menunjukkan jam tangannya. Hampir pukul enam. Aku terus saja berjalan. Semakin kulihat jelas sosok Ryan. Sepertinya dia sibuk menelpon dari ponselnya. Samar kudengar suaranya berbicara dengan seseorang diseberang sana. Mungkin ibunya, karena terdengar sopan sekali katakata yang dia ucapkan.
“Iya, Bu. Minggu sore Ryan berangkat. Jadi mungkin sampai rumah senin pagi. Sampaikan pada Romo. Ryan pasti pulang dan menjenguk Dinda. Kangen.” Aku sudah berada tepat di sebelahnya. Dia hanya menoleh, tersenyum, lalu asyik ngobrol lagi dengan ibunya. Hah! Rasanya aku semakin hilang kontrol. Aku semakin mengagumi dia. Sean merangkulku. Ryan hanya menoleh sembari memasukkan ponselnya ke saku depan sweater biru lautnya. Aku terpana melihat senyumnya.
“Udah keliling kemana aja tadi?” tanyanya, entah padaku atau pada Sean, karena dia tak lagi memandang kami.
“Dari tadi sih cuman duduk-duduk aja di teras. Abisnya Anya gak mau kuajak jalan-jalan.” Jawab Sean. Ryan memandangku, kesempatan yang tak pernah ingin kulewatkan. Tapi aku tak berani menatap matanya. Bisa-bisa darahku beku. Brrr!
“Kenapa? Masa sih udah capek? Rugi dong kalo gak jalan-jalan. Tanyanya padaku, heran.
“Ya males aja. Baru nyampe udah ujan. Lagian lagi hobi bengong kok.” Jawabku terkesan cuek.
“Pantes dari tadi aku liat diem aja kayak orang kesambet. Kirain liatin aku, gak taunya bengong. GeeR banget ya, aku.” Katanya. Tes! Keringat dinginku mengucur. Dia liat aku lagi asyik liatin dia?! Mampus deh. Kirain gak liat. Aduh, tengsin neh… teriakku dalam hati. Untung keadaan menyelamatkan aku, biarpun cuma sebentar. Mas Bambang datang dan memanggil Sean. Keduanya lalu pergi meninggalkan kami berdua, entah apa yang dicari Mas Bambang. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Mas rencana pulang ya besok?” tanyaku ingat pada pembicaraannya diponsel tadi.
“Kok tahu? Nguping ya tadi?” tanyanya menggodaku. Aku hanya tersenyum. Pastinya senyum termanisku.
“Iya, Dinda sakit lagi. Lagipula aku juga sudah lama nggak pulang.Kangen, Nya.” Jelas Ryan lagi, menerawang.
“Sakit lagi ya?” tanyaku berusaha bersimpati pada Dinda, adik semata wayangnya. Adik yang sangat disayanginya. Adik yang sangat ingin dia lindungi. Adik yang sudah setahun ini berusaha melawan kanker ganas ditubuhnya. Aku tahu dari cerita-ceritanya pada Tomy, kadang juga padaku.
“Iya. Kemarin harus di kemoterapi lagi, aku menyesal sekali gak bisa pulang lebih cepat. Pasti ibu khawatir sekali. Pasti juga Dinda kesakitan, dan ingin aku ada disampingnya. Tapi motorku rusak, Nya. Kamu tahu sendiri kan kemarin aku abis nabrak pagar depan.” Jawab Ryan panjang lebar. Ada ekspresi penyesalan yang begitu dalam di matanya.
“Emangnya belum dibenerin ya sama Mas Tomy?” tanyaku.
“Ya udah diliat sih kemarin, tapi katanya rusaknya parah. Banyak yang harus diganti. Mungkin baru hari senin besok jadi.” Jelasnya padaku. Terlihat sekali dia begitu resah. Duh, ingin sekali aku memeluknya. Mungkin bisa membuatnya lebih nyaman. But, that just in my dream of course!!
“Lha kalo gitu ngapain tadi gak benerin motor aja? Malah pergi mancing kesini. Mana ujan lagi. Jadi bengong aja kan disini…” protesku.
“Yee…kamu kali yang bengong. Ini kan udah direncanain lama banget. Kamu gak minta ikutpun, aku pasti ajak kamu.” Jawab Ryan mengagetkan aku.
Tanpa diminta, Ryan mau mengajak aku? Wah, mimpi neh? Jeritku dalam hati girang. Akhirnya aku hanya bisa menunjukkan ekspresi bingung di wajahku. Ryan lalu meneruskan lagi kata-katanya.
“Iya, malah sebenarnya aku yang ngajakin Tomy. Tapi gak pernah ada waktu yang tepat. Mumpung sekarang ada waktu, ya udah. Gak enak punya janji kalo belom ditepati.” Ryan mulai menerawang lagi. Mungkin dia ingat Dinda. Duh, coba kalo Tomy seperti Ryan, begitu perhatian pada adiknya, bukannya malah ngusilin aku tiap hari! Aku mencoba menghiburnya lagi.
“Ya udahlah, Mas. Gak usah terlalu dipikir. Besok minta antar Mas Tomy aja pake mobil ayah. Lagian Dinda juga pasti ngerti kok ntar.”Ryan tersenyum, sambil memandangku. Senyum getir sepertinya. Entah rahasia apa yang tersembunyi dibalik mata hitamnya itu. Aku menunduk, terlalu takut menatap pesonanya. Kudengar hembusan nafasnya…
“Nya, gimana kamu sama Sean? Dah resmi?” aku terhenyak. Ternyata dia menaruh perhatian juga pada hubungan kami. Aku pikir selama ini dia tak perduli, dan sikapnya memang begitu. Baru kali ini dia menanyakan itu, dengan wajah yang begitu serius. aku mencoba sesantai mungkin menjawabnya.
“Emang Sean gak cerita ya? Kita temenan aja kok. Aku gak bisa aja ma dia.”
“Kenapa? Sean kan cakep. Dia juga baek, dan umurnya lebih tua dari aku.
Dia pasti bisa jaga kamu dengan baik.” Lirih Ryan berkata.
“Kenapa kamu bandingin dia ma kamu? Lagian dia bukan satpam tuh, jadi gak perlu jagain aku.” Kataku setengah bercanda, mencoba mencairkan suasana.
Ryan hanya terdiam, lalu menunduk. Seakan ada sejuta ton beban dibahunya. Pelan, sangat pelan dia bicara lagi.
“Nya, apa cinta itu sekejam ini? Kenapa kamu gak bisa balas sikap dia, padahal dia janji mau serius ma kamu.”
“Janji? Janji sama siapa? Aku bukannya gak bisa balas cinta dia. Hanya saja aku memang gak bisa. Dan itu bukan berarti cinta itu kejam…cinta bagiku gak kejam, seharusnya dia bisa nerima keputusan aku kalau memang dia bener-bener sayang sama aku. Seharusnya dia mengerti aku dan gak maksain aku lagi supaya bisa nerima dia. Dia gak perlu ngemis kaya gini sama aku, Yan.” Jelasku panjang lebar, setengah berteriak. Aku muak, muak pada semua orang yang selalu memojokkan aku. Selalu berpikir seharusnya aku menerima Sean, dan gak memperlakukannya sekejam ini. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Seharusnya mereka tahu kalau apa yang aku lakukan
justru baik untuk Sean. Aku gak mau berpura-pura nerima dia, membohongi dia padahal aku bener-bener gak bisa sayang sama dia. Aku gak mau kebohongan ini terjadi lebih lama lagi. Aku hanya ingin Sean mengerti, juga mereka. Termasuk Ryan yang sepertinya juga mulai menyalahkan aku.
Aku menunduk, ada bulir hangat yang jatuh membasahi pipiku. Tibatiba saja Ryan menarikku dalam peluknya. Hangat, sungguh damai rasanya. Kalau boleh, aku ingin waktu berhenti saja saat ini. Hening. Ryan tak juga melepas peluknya sampai Tomy datang. Dinner sudah siap. Aku mengusap mataku yang sembab, entah berapa lama aku m
enangis dalam peluknya tadi. Ryan menatapku, lalu mengulurkan tangannya.
Kuraih hangat jemari itu. Entah kenapa, aku merasa begitu damai. Seakanakan Ryan sudah tahu isi hatiku dan menyambutnya dengan suka cita. Menu dinner yang sangat sederhana namun mampu membangkitkan selera makanku. Entah apa namanya sayur itu. Yang jelas isinya adalah kepala ikan besar, mungkin gurame dengan kuah santan kental. Aku mengambil kuahnya saja. Tomy memberiku seekor ikan mujair goreng, lalu aku juga menyendok sambal di depanku. Hmm, aku memang paling suka ikan goreng!
Sean menyodorkan kerupuk padaku. Saat kuucapkan terimakasih padanya, sekilas kulihat Ryan memandang kami. Aku diam saja, mencoba tak berpikir apapun dan dengan riang menghabiskan makan malamku diselingi cerita konyol Agus saat tercebur kolam di belakang penginapan. Kami semua tertawa, termasuk Ryan. Selesai makan, aku langsung masuk kamar dan membiarkan rencana Sean pergi ke pinggir danau bersamaku gagal. Kalau ada hal yang masih ingin aku lakukan, itu adalah mencoba menghindari Sean. Aku capek. Kucoba pejamkan mata, namun kembali bayang-bayang Ryan hadir.
Kisah senja tadi, kembali terulang dalam ingatanku. Rasanya seperti mimpi. Aku masih tak percaya ini terjadi. Ryan, aku tak bisa membohongi hatiku kalau pesonamu semakin membelengguku…
Tak ada yang istimewa hari ini. Aku sudah mulai masuk sekolah lagi. Dan Ryan jadi pulang kampung kemarin, diantar Tomy. Aku saja tak tahu pulangnya, karena aku harus mengantar ibu ke rumah Tante Lisda. Hanya dua lembar tugas bahasa inggris yang ditinggalkannya untukku. Kata Tomy dia gak mau liat aku bengong aja, jadi mending ngerjain tugas itu. Hah!
Dasar! Udah sedikit seneng gak ada teror bahasa inggris, eh, malah
ditinggalin tugas. Kaya dosen aja tuh orang. He..he..tapi aku seneng
juga. Paling nggak dia masih ada perhatian padaku.
Sampai seminggu Ryan belum balik juga. Padahal pamitnya sama ayah sih cuma 3 hari aja. Lagian dia juga ada jadwal ngajar privat sabtu ini. Tapi dia belum balik. Aku mencoba bertanya pada Tomy, malah dapet jawaban yang
bener-bener bikin aku makin bingung.
“Emangnya dia kemarin gak pamitan ma kamu, Nya? Kirain udah tahu. Abisnya kamu sampe nangis-nangis gitu pas di River Side.”
“Pamitan? Pamitan kemana? Dia pulang kampung kan?” tanyaku lagi memastikan maksud Tomy, sedikit cemas juga.
“Dia gak ngomong apapun? Sedikitpun soal masalahnya?” tanya Tomy lagi, heran. Aku hanya bisa tambah bingung. Makin gak ngerti arah pembicaraan Tomy.
“Ngomong apa sih, Mas? Emang dia punya masalah? Kalaupun ada, apa emang harus dia bicarain ke aku?” Aku balik bertanya, penuh dengan rasa heran dan bingung. Tomy tak menjawab. Dia menarik tanganku menuju kamarnya. Aku hanya bisa mengikutinya walaupun tak mengerti apa yang akan dia tunjukkan padaku. Tomy menarik laci meja belajarnya, dan mengambil buku kecil, kelihatannya sebuah diary. Tapi, sejak kapan Tomy hobi menullis diary? Aku makin tak mengerti. Tomy lalu menyodorkan buku itu padaku.
Dengan isyarat dia menyuruhku membaca isinya. Perlahan aku buka diary itu, sepertinya memang bukan punya Tomy. Halaman pertama, hanya berisi kekaguman penulis terhadap seseorang. Sebait puisi,
*Cinta bukan berdasar kebutuhan dan permintaan manusia
*Namun ijinkanlah diri ini tuk memuja
*Karena pesonanya telah mengikat asa
Sebait puisi yang sangat romantis. Aku tak bisa membayangkan kalau aku yang menerima puisi itu. Mungkin aku hanya bisa membacanya berulangkali dengan mulut yang menganga lebar. Hehehe… aku mengatakan itu pada Tomy, dia hanya tersenyum lalu menyuruhku melanjutkan lagi ke halaman berikutnya. Halaman dua, hanya berisi tanggal, 12 Maret 2003, dan tulisan, Jika waktu memihakku…ingin sekali aku berkata jujur. Nggak pernah terbayang aku bisa mengenalmu sedekat ini. Begini saja aku sudah
bersyukur. Walaupun aku tak pernah tahu kamu menganggap aku seperti apa.
Aku makin bingung dengan maksud Tomy. Kenapa dia menyuruhku membaca diary yang bukan miliknya. Lalu milik siapa diary ini? Saat aku hendak menanyakan hal itu, Tomy kembali memberiku isyarat agar aku diam dan meneruskan membaca. Kali ini langsung ke halaman 10.
Ada kumbang lain yang menyukainya.
Aku hanya bisa pasrah.
Biar dia yang memilih, karena aku tak bisa menentukan jalannya.
Karena aku juga tak bisa memberi kepastian.
Karena rasa sakit ini tak ingin aku bagi dengannya.
Karena aku tak ingin kelopaknya menguncup sedih…
Ada banyak bagian dari diary itu yang bertanda, dan Tomy menyuruhku membaca semua bagian itu. Aku membaca perlahan, semuanya berisi tentang kekagumannya pada seseorang. Mungkin dia sedang jatuh cinta. Sungguh sebuah diary yang penuh dengan romantisme. Kurang dua bagian lagi yang harus aku baca, namun Tomy mencegahku untuk membacanya.
“Tunggu, Nya. Aku pengen tau pendapat kamu soal diary ini. Tentang isinya…” Kata Tomy memintaku menjelaskan pemikiranku.
“Ehm, menurutku sih, orang ini lagi jatuh cinta. Cinta yang begitu dalam.
Hanya saja dia tak berani mengatakan, karena dia punya alasan tertentu.
Selain itu, ada orang lain yang memiliki rasa yang sama dengannya, dan dia merasa, orang itu lebih tepat sebagai pendamping orang yang dicintainya itu.. bener nggak?” jelasku panjang lebar pada Tomy.
“Garis besarnya sih kayak gitu. Tapi, kamu tahu nggak alasan yang membuat dia takut mengutarakan perasaannya sama orang itu?” tanya Tomy lagi, berusaha memancing pendapatku.
“Dia hanya menyebut rasa sakit, dan tak ingin orang yang dicintainya itu tahu tentang ini. Apa itu berarti dia punya semacam penyakit ganas yang mungkin bisa membahayakan jiwanya?” kataku lagi setengah bertanya. Tomy mengangguk, tapi aku tak yakin melihatnya. Ada sebulir air mata jatuh di pipinya. Tomy menangis? Dia meraihku, dalam peluknya. Cukup lama Tomy menangis, sampai akhirnya dia bicara.
“Ryan yang nulis ini, Nya. Buat kamu. Dia sudah lama suka sama kamu. Dari awal dia datang kesini. Tapi dia gak bisa berbuat banyak. Sebenernya
dia yang kena kanker itu, bukan Dinda. Dia hanya tak mau orang lain merasa kasihan padanya. Aku baru tahu kemarin, saat mengantarnya. Selama ini aku memang sudah tahu dia menyukaimu, tapi baru kemarin itu aku tahu dia sakit. Dan dia hanya menitipkan diary dan tugas itu buatmu. Aku pikir dia sudah menceritakan hal ini sama kamu di River Side kemarin, ternyata belum. Kamu terusin baca dua bagian terakhir itu, Nya…” Jelas Tomy perlahan namun tegas. Tomy jarang bicara setegas ini. Tapi aku sungguh masih tak percaya dengan apa yang aku dengar. Dengan penuh rasa bingung aku membaca bagian bertanda itu.
Rasa sakit ini semakin menyiksaku. Aku tahu waktuku tinggal sedikit lagi.
Tapi aku hanya ingin memastikan bungaku tetap mekar, dan kumbang itu bisa menjaganya. Agar aku bisa tenang. Entah apa jadinya nanti, aku merasa bungaku juga menyukaiku. Tapi aku terlalu takut… bungaku akan kuncup lagi saat tahu apa yang sedang menungguku… yah, maut menungguku…
Pagi ini aku berangkat, selangkah lebih dekat menuju maut. Sebenarnya sama saja antara aku harus disana atau dimanapun. Tapi aku hanya ingin meminta ijin Romo, Ibu dan Dinda. Biar saja bungaku tak pernah tahu. Kalaupun dia tahu, hanya lewat tulisan ini. Tulisan terakhirku. Bungaku, kamu harus terus mekar, melanjutkan mewarnai pagi dengan senyummu… aku harap kumbang itu tetap setia menjagamu, walaupun kemarin kau katakan kalau kau tak perlu dijaga. Tapi aku tak ingin meninggalkanmu sendiri.
Bunga… demi aku, jangan sedih. Aku tahu perasaanmu padaku… terimakasih untuk membuatku lebih lama bertahan dan menyelesaikan peranku…aku pergi.
Aku tak sanggup meneruskan membaca. Air mataku terlalu mengganggu, hingga aku benar-benar tak bisa membaca lagi. Aku tersungkur, Tomy meraihku. Aku lalu bertanya, apa dia masih ada, apa aku masih bisa melihatnya, for the last time? Tomy menggumam, sepertinya dia sendiri juga tak yakin.
Tapi akhirnya dia langsung menuju garasi depan, mengajakku masuk ke mobilnya, mengantarku ke tempat Ryan dirawat. Tak ada kata yang keluar sepanjang perjalanan. Tuhan, kenapa aku baru mengerti disaat-saat terakhir?? Ryan, selama ini menahan sakit, demi cita-citanya, demi mimpi, dan demi cintanya. Aku… ternyata aku yang dicintainya. Ternyata aku tak bertepuk sebelah tangan. Seandainya aku tahu lebih cepat, aku pasti bisa membahagiakannya, sampai akhir umurnya. Bukan seperti sekarang. saat masing-masing merasa kesakitan dan hanya bisa menduga-duga. Tapi aku tahu Ryan pasti lebih merasa sakit… Tuhan, for the last, aku benar-benar ingin memberinya sebuah pelukan hangat. Ijinkan aku Ya Allah…
Mobil Tomy sampai di pelataran parkir rumah sakit. Aku bergegas turun, diikuti Tomy. Segera menuju bagian informasi, dan akhirnya bisa sedikit lega saat tahu Ryan masih dirawat disitu. Berarti aku masih bisa melihatnya. Akhirnya kami sampai di sebuah kamar, cukup luas. Begitu hening, padahal ada tiga orang didalam. Pasti itu keluarga Ryan, ibu, Romo dan Dinda. Ternyata Dinda seorang gadis kecil, mungkin masih lima tahun. Ibunya sendiri tampak masih sangat muda. Penampilan seperti putri
solo, anggun dan ramah. Romo juga begitu, tampak berwibawa dengan baju batiknya. Aku jadi malu melihat pakaianku yang hanya seadanya, kaos oblong, dengan celana sport selutut. Mereka semua memandang kami. Sepertinya Tomy sudah pernah bertemu mereka, ada sesungging senyum di wajah ibu Ryan diantara mimiknya yang sangat sedih dan letih. Tomy menyalami mereka. Aku juga, mencium tangan kedua orangtua Ryan, juga
Dinda. Lalu aku melihatnya. Sepasang mata hitam itu. Rambut panjangnya sudah tak ada, Ryan gundul. Aku memandangnya, berusaha menyem bunyikan air mataku. Dia menatapku, tatapan yang sangat hangat namun letih. Begitu banyak yang ingin aku katakan, tapi akhirnya aku hanya bisa memeluknya.
Seperti janjiku. Damai, begitu damai… hingga perlahan akhirnya menjadi begitu dingin dan kaku…

Cerpen Cinta Dari : kelin

This entry was posted on Sabtu, September 12, 2009 and is filed under . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 comments