CINTA BERMUSIM  

Posted by AsTeg

Kenapa kalau aku telepon dengan HP-ku selalu gak diangkat? Tetep aja hidden! Invisible! Bikin kesel!” gerutuku sambil masuk ke dalam sanggarku. Kulihat Dodo santai dengan walkman kecil kesayangannya, geleng-geleng kepala, komat-kamit, bersiul, dan rebahan di sofa dekat meja kerjaku. Lalu dia bangun, melihatku datang, menaruh tas kamera dan laptop di mejaku.
”Eh, kak..nggak jadi ke Bali?” Sapa dan tanyanya dengan khas suara fly-nya.
Sambil duduk di kursi kerjaku, kulekatkan jari telunjuk kanan ke bibirku.
”Sssssttt!” Dodo manggut-manggut, nampak bibirnya membulat, seperti huruf o.
”Kambuh lagi ya?” suara beratnya seakan mengejekku. Aku tambah marah.
”Kamu yang bikin kambuh! Tak pernah tanggapi keseriusanku! Udah! Gak jadi ketemu juga nggak apa! Emang gue pikirin!” Lalu aku banting HP-ku ke atas meja. Lamat-lamat masih kudengar ujaran-ujaran religi-nya, yang selama ini terus berusaha memasuki celah-celah hatiku, yang sebenarnya sangat, sangat membutuhkan kesejukan rohani, kalau aku mau mengakuinya.
”Santai aja, jangan terbawa emosi jiwa. Kendalikan emosi, jangan emosi kendalikan dirimu…” Entah kenapa aku jadi begitu gusar, mendengar dia berkomentar atas sikapku untuk ketegasan hubungan yang tak jelas bagiku ini. Setahun jalan, namun sulit sekali buat satukan waktu mempertemukan raga. Surabaya – Bali, adalah jarak yang tak terlalu jauh buat sauhkan perahu cinta kami. Kuambil HP-ku, segera kupotong kalimat Timur.
”Kamu kasar! Dah nggak punya roman lagi! Tak pernah paham bagaimana sayangnya aku ke kamu. Lebih dari yang kamu tahu! Tapi apa yang kulakukan tak ada maknanya. Nothing else matter!” Dia terpancing, nadanya mulai meninggi dengan kalimatku barusan.
”Tetap tak berubah! Aku kasar? Baru kali ini orang bilang aku kasar. Tapi Thanks!” Lalu dia matikan telepon. Aku makin kesal, aku telepon dia, nggak diangkat-angkat. Sampai panas nih kuping dengar ”jika nanti kusanding dirimu, miliki aku dengan segala kelemahanku, jika nanti engkau di sampingku, jangan pernah letih tuk mencintaiku…
” Duh Naff-Naff, napa juga kamu setia jadi ring back tone dia yang kadang terlalu hati-hati buat bercinta, mencintai, dan dicintai wanita. Hanya karena ketulusan dia terkhianati wanita yang dulu begitu dipujanya. Lalu. Pergi meninggalkan dia, dengan segala kebohongan, yang begitu menyakitkan. Tapi sampai kapan dia tak percaya wanita? Kalau mau itung-itungan, traumaku lebih berlipat ganda daripada dia. Dan kita dulu jadian juga udah sepakat buat kubur semua yang nyakitin ati. Namun , dia
aja yang tak pernah punya daya arung. Aku jadi inget kalimat Yanik, sahabat SMA-ku, ketika aku ke Jakarta bulan lalu, menyelesaikan scrip FTV-ku, dan aku diculiknya dari apartemen Riny, dibawanya pulang ke rumahnya, di Pondok Lestari Bekasi.
”Trus, kamu sekarang lagi jalan dengan siapa Ran? Buruan tetapkan satu, lalu menikahlah segera. Dah kepala tiga, dah mature banget tuh. Jangan larut dengan masa lalu lagi.”Yanik, paling ngerti masa lalu romanku, terlalu sering kandas ketika aku mulai serius menjalin kasih dengan seorang lelaki. Entah kenapa, selalu saja kandas tak bertepi. Paling banter setahun dah bagus. Kata lelaki-lelaki itu, aku terlalu angkuh, ego parah, dan selalu tak mau begitu saja terima saran, apalagi kritik. Aku jalan sakakrepe dewe kata orang Jawa. Padahal, temanku banyak sekali. Dimana-mana aku punya teman, sahabat. Kata mereka aku supel, fleksibel banget. Cuman anehnya,
dengan yang namanya pacar, selalu saja ribut. Biarin! Selalu gitu rutukku, kalau
aku ingat semua itu. Mungkin ini, pengaruh psikologiku saat kecil. Anak semata wayang, sejak SD hidup tanpa ayah. Mama, single fighter, anti lelaki, karena cintanya buat ayah, yang dulu begitu dikultuskannya, menjadi boomerang hatinya. Papa, selingkuh! Hati mama terlalu sakit, hingga emosi menggugat cerai Papa, tanpa ampun! Itu yang selalu aku ungkap, jika aku membela diri, membenarkan atas kekerasanku, kekakuanku selama ini dengan lelaki.
”Hay, kok malah ngelamun sih?” Aku, kaget dengan kalimat Yanik. Kualihkan pandang mataku dari figura foto coklat, berukuran 20R di dinding kanan ruang tamu. Foto keluarga Yanik, dengan suami, dan Yoga, anak lelakinya, yang sudah berusia 7 tahun.
”Oh, aku? Hmm, lagi jalan dengan 3 orang sekaligus!” Datar aku jawab, lalu aku menyeruput ice lemon tea dari atas meja tamu. Yanik terbelalak, mata beloknya melotot.
”Haaah? Apa? Edan kamu ini!” Aku lepas sepatu boots-ku, lalu kuangkat kedua kakiku di atas sofa, bersila. Santai aku komentari opini Yanik.
”Napa Yan? Selama aku nggak ganggu rumah tangga orang why not? Mumpung belum ada janur melengkung, aku harus pilih benar. Aku nggak mau jadi wanita bodoh. Masa lalu mama dah cukup jadi pelajaran…
”Yanik, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
”Mereka tahu kamu tiga-kan?” Aku tertawa ngakak.
”Hahaha..Yan, Yan…polos banget sih kamu? Ya nggaklah..begonya aku kalau mereka sampai tahu. Ah, mereka paling juga begitukan aku..biarin aja..ah bodo amat Yan..biarin ngalir aja deh…aku mau mandi, ntar malam aku harus balik ke PH bos.” Lalu aku masuk kamar, meninggalkan Yanik, yang masih terdiam, melongo kali, atas insiden barusan. Hehehe..biarin.
”Ada apa lagi sih kak? Rame lagi? Dengan yang mana nih? Hiks…”
Suara fly dan tertawa kecil Dodo membuyarkan lamunanku. Anak-anak sanggar emang tahu banget gimana kisah-kisah gilaku. Aku pelototi dia, lalu aku matikan HP-ku, karena dah lelah dengar lagunya Naff. Nggak pas banget dengan soul gue kawan! Maaf banget!
”Eh, tadi bang Udin kasih cd pic Andra ama Jety nggak? Udah ditunggu Venus tuh. Lusa deadline mereka, tadi pimrednya dah nanyain.”
”Udah kak, tapi bang Udin sekalian jalan, dia kasih langsung kesana katanya. Karena kakak nggak ada…” Jawab Dodo sambil memantikkan korek api, merokok, setelah melepas walkman-nya.
”Laki-laki semua sama, egonya segede gunung! Kamu juga Do?”
”Makanya, kak, aku nggak suka ama lelaki. Lebih suka ma cewek…” jawabnya selengekan seperti biasa. Lalu kutimpuk mukanya dengan tissue yang baru saja aku pakai mengelap keringat dari dahiku, yang dari tadi terasa panas, karena pertengkaranku dengan Timur. Aku mulai seriusi hubungan kami, lelah dalam kembara cinta. Bukannya aku serakah, pacaran dengan 3 lelaki sekaligus. Namun apa salahnya, aku bisa share salah
satu dari mereka dengan matang. Kalaupun, banyak yang bilang aku edan, biarin aja. Aku mau yang terbaik kok. Asal nggak kebablasan free sex. Why not?
Pesan mama selalu aku ingat. ”Hanya kepada yang berhak, kesucianmu kamuberikan…”
Mending gitu kahn? Daripada jalan dengan satu orang, putus, jalan lagi dengan yang lain, begitu terus. Tapi udah begitu mudahnya mereka make love. Hmmm. Mending aku kahn…bukannya sok suci. Namun aku menjaga benar amanah Mama. Karena sekali kita udah melakukannya sebelum menikah, akan keterusan, dan hampa aja rasanya sebuah pernikahan, karena make love sudah menjadi hal yang sangat biasa. Bukan sesuatu yang sakral, make love itu, artinya buat cinta yang sesungguhnya. Mungkin ini bagian dari opini orang tua yang sebenarnya bagus juga buat dilaksanakan, begitu ceramahku ke teman-teman wanitaku, yang rata-rata tak percaya, bahwa aku yang sudah pacaran berkali-kali, masih virgin. Ya udah, kalau nggak caya. Emang gue pikirin apa?
Terdengar ”Kirana jamah aku, jamahlah rinduku…” pertanda SMS dari Eagle Nest, sebutanku buat Wibi, satu pacarku yang kerja di Mc. Moran.
Dia tinggal pindah-pindah sesuai dengan job-nya, kadang di Singapore, Hainan China, Timika, Bali, Makassar, banyak deh, ampe bingung aku kalau dia cerita tentang job-job-nya. Kayak nggak nyambung aja nih otak. Maklum, dia ilmuwan abes! Sedang aku hanya seniman jalan, penulis underground, yang Alhamdulillah punya sanggar multi talent.
”Siang Ran, aku lagi di Biak Papua untuk survey tanah, landasan rencana buat peluncuran pesawat luar angkasa Antonov. Kamu sehat-sehat saja kahn?”
Hmm, tumben dia SMS duluan. Biasanya sibuk parah dengan riset-risetnya. Selalu sibuk, tiada waktu buat bercakap-cakap roman. Dibatasi semua geraknya. Dia seperti robot aku bilang. Kontrak belasan tahun buat sebuah obsesi kerja atau karya? Tau deh. Hampir sama dengan Jeff, satu pacarku lagi, yang terus sibuk merunuti jalan, membangun gedung, menyingkap rimba, menyisir tanah tambang buat obsesi konglomerat-nya. Kenapa juga aku kok suka kedua-duanya, selain Timur. Kmai berhubungan long distance, banyak nggak enaknya sih, cuman juga ada enaknya. Bisa share lebih banyak antara satu dengan yang lainnya denganku. Kalau boleh jujur, sesungguhnya aku bingung banget, kalau disuruh memilih. Tiga-tiganya masing-masing punya kelebihan dan kekurangan, yang anehnya bisa saling tertutupi. Nah lo! Masak aku harsu married dengan 3 lelaki? Edan!
”Syukur deh, kamu dah di Ina lagi. Kapan bisa ke Surabaya? Hmm, bukankah kamu di Gold Company? Kok riset tanah buat Antonov? Apa hubungannya? Nggak paham aku…” tanyaku penuh selidik. Aku mulai test case dia. Kata sahabat-sahabat wanitaku, ini juga salah satu kejelekkanku. Underpresser!
Kembali terdengar reff. Kirana-nya Dewa 19.
”Antonov di Rusia, makanya pekerjaan konstruksinya di sub kan ke Mc. Moran, yang mobilitas alatnya dekat dari Timika/Singapore/Aussie daripada dari Rusia. Rana sehat kahn? Aku nggak lama kok di sini,cuman bikin Master Plan. Setelah itu balik ke Singapore, semoga saja aku bisa mampir ke Surabaya.” Dari dulu selalu begitu, Rana, aku sekarang di A, di B, di Z. kalau sempat aku usahakan mampir ya? Huuu. Ujung-ujungnya berantem deh. Miss comunication! Namun, napa aku juga masih berat ke dia. Padahal bundanya belum memberi lampu hijau atas hubungan kami, lampu kuning aja belum. Karena keningratan seorang Raden Mas Pandu Wibi Pamungkas, masih menyisakan ajaran, bibit, bebet, bobot. Dan aku paham banget, meski rada sakit juga. Mengingat siapa sih yang ingin jadi anak janda, dan memiliki ayah yang selingkuh? Lalu ada darah warok Ponorogo juga mengalir padaku.
Masak aku akan menghentikannya? Bukankah itu kehendak Tuhan? Kematianlah ujungnya, kalau aku menghentikan aliran darahku sendiri. Entahlah, i`m show must go on.
Belum aku sempat membalas SMS Wibi, terdengar nada panggilan ”Sweet Child O`mine-nya Guns & Rosses” Duh, suara sexy Axel Rosses, menghentak hati banget siang ini. Telepon dari Jeff.Kuangkat nggak ya? Karena sebenarnya aku masih kesal parah dengan dia. Kami barusan rame sebulan yang lalu, ketika kami bertemu di Jakarta, hanya gara-gara dia becanda begini, saat kami berada di Rimba café, di daerah Kemang.
Dan baru saja tertawa terbahak-bahak, karena dia memang kadang suka melucu, meski seriusnya juga ada.
”Ran, aku sebenarnya mau married tahu!” Coba bayangkan, di tengah-tengah kami tertawa terbahak-bahak, ampe kebelt pipis, eh dia tiba-tiba bicara serius, diamna seriusnya sangat telak banget di jantungku. Siapa yang nggak stress! Langsung mukaku memerah! Aku marah! Kupelototi mukanya. Karena aku merasa hubungan kami selama ini baik-baik aja sebagai sepasang kekasih, meski berjauhan.
”Ya udah married aja. Gitu aja kok bingung. U lier!” Dia nampak terkejut melihat kemarahanku. Lalu dia pegang tangan kiriku yang melenggang di depannya, karena aku langsung berdiri dan menyahut tasku dari meja café.
”Eit! Tunggu dulu! Emang kamu nggak mau married juga?” Kulepas keras pegangan tangan kanannya. Kutatap tajam mata sipitnya, warisan darah Dayak dari maminya masih kelihatan, meskipun papanya bule Aussie. Apalagi dengan rambut lurus sebahu, dan anting di telinga kirinya. Dari ketiga pacarku, emang yang paling nyentrik Jeff,
punya selera musik sama denganku, sweet rock, heavy metal. Namun dia juga seorang enterpreneur tangguh. Pewaris tunggal perusahaan tambang batubara papinya. Perbedana keyakinan kamilah, yang kadang membuatku ragu buat terus melangkah bersamanya. Tapi aku juga masih berat memutuskan hubungan kami, karena dia sesungguhnya teman yang enka buat diajak share. Dia dulu hadir sata aku ngerasa sepi banget di dunia fana ini…hmmm ”Nggak ada gunanya hubungan kita selama ini. Kamu pembohong besar Jeff!” Lalu aku tinggalkan dia bete habis, sendirian di café yang mulai sepi itu. Sejak itu, aku i`llfeel dengan dia. Tak pernah kubalas lagi SMS-SMS-nya. Hingga aku larut lagi dengan Timur. Designinterior yang selalu menginginkan semuanya perfect. Aku tahu itu sejak awal. Namun aku cuek saja dengan semua tentangku yang terus berusaha dibangun dengan semau saran lengkap dengan kritiknya. Kadang aku juga iri dengan 19
kucing-kucing yang tinggal bersamanya selama ini. Begitu mudah dibelainya, namun aku yang diakui jadi kekasihnya, selalu bermimpi saja selama ini buat disentuhnya. Aku tahu, dia selalu test case aku juga, setiap kami berkomunikasi. Full body perfect. Aku tahu type-nya. Namun dia selalu sanggah begini, jika aku ngeyel, nggak sabaran.
”Hidup ini bukan syair, puisi, atau sinetron, tapi real kujalani dan harus sabar. Tak ada manusia yang sempurna, kesempurnaan hanya milik Allah! Istighfarllah!” Tapi hatiku hari ini benar-benar kacau dibuatnya. Semua job di Surabaya telah aku limpahkan ke anak-anak sanggar. Karena aku ingin jalan sendiri dulu ke Bali. Nulis dan motret. Aku ingin bikin sebuah trilogi karya yang terispirasi dari gambar-gambar landscape yang akan kuambil di pulau sang dewa itu. Semua jadwal telah aku atur dengan baik. Dan aku begitu happy, ketika Timur bisa menemaniku merunut jejak di Bali. Namun, hari ini benar-benar seperti tersambar petir kepala ini, ketika aku sudah naik taxi, perjalanan ke bandara. Tiba-tiba Timur meneleponku.
”Daunku, rasanya angin tak bisa menjemputmu di Bandara pagi ini, karena ada meeting mendadak dengan klienku dari Aussie. Dan harus aku yang handle. Karena pimpro-nya aku sayang. Pls, kamu bisa naik taxi dulu ke hotel ya. See you. Aku buru-buru. Maaf…”
Langsung lemas tubuh ini, terasa melayang, berputar-putar diawan, lalu jatuh ke bumi. Buuuk! Tiba-tiba soul-ku untuk ke Bali musnah begitu saja, hilang tak berbekas. Aku sangat kesal! Pada mulanya aku sungguh gembira, ketika Timur bilang, dia akan menjemputku, dan membawa ke home sweet home-nya. Rumahnya yang indah, nyaman, damai, tenang, karena sentuhan design-design dia. Dengan kolam renangnya yang bening. Aku telah mebayangkan kisah romansa yang begitu indah. bIsa jadi energy
novelku yang baru. Namun apa yang kualami, sangat getir! Pulang! Itu jawabannya!
”Kak…udahlah..tuh jawab dulu telepon..dari tadi di cuekin aja.” Entah kenapa, kok aku manut omongan Dodo, tiba-tiba HP-ku dah menempel di teliga kananku.
”Dimana Ran? Masih marah? Maaf deh. Gak bisa diajak becanda ah kamu ni…”
”Becanda paan. Nggak lucu tahu! Ya udah married aja dengan wanitamu itu. Udah ah nggak usah hubungi aku lagi! Delete semua file tentangku! Puas!” Jeff, mulai marah, karena emosiku. Begitu selalu. Nggak ada yang bisa saling mengalah. Ya gitu deh, resiko punya pacar bujang yang dah mulai lapuk. Kepala tiga. Dewasanya nggak ada. Betul kali kata orang, lelaki tuh bayi yang berkumis. Begitu selalu kubilang. Namun sering dibantah dibantai teman-temanku, entah itu lelaki atau wanita. Banyak juga yang nggak setuju. Huuuh, dunia ini memang sangat membingungkan.
”Ok! Sudah kamu pikirkan baik-baik?! Ok! I will do it now! Cut now!”
Tuuut…Tuuut…Tuuut! Jeff matikan HP-nya. Aku terduduk lunglai tiada nafas yang bisa kuhela. Berat banget. Benar aku telah putus dengan Jeff? Artinya, dah nggak ada lagi nyanyi-nyanyi bersama? Dia main gitar, aku menari dan kiat berduet. Lalu berdansa dengan Still Got The BLues-nya Gary Moore? Padahal aku sangat menikmati saat-saat indah yang begitu menghibur laraku itu. Entahlah…entah lagi… Timur nyakitin, aku dah i`llfeel. Jeff cut. Berarti tinggal Eagle Nest, ya tinggal si ningrat itu. Bukankah tadi dia SMS belum aku jawab? Buru-buru aku telepon dia.
Harap - harap cemas, kudengar ring back tone dari suara berat alm. Broery Marantika feat Dewi Yull dengan ”Rindu Yang Terlarangnya.” Wibi memang aliran oldiest. Kadang nggak nyaman juga sih, ketika kita jalan bareng, aku harus mendengarkan tembang-tembang oldiest nya. Dan aku harus lepas sepatu boots-ku, jeans belelku, jaket jeansku, dan semua kalung gelang etnikku, kalau aku diajak sowan ke bundanya di Malang.
Ribet banget ya kalau mau cari jodoh. Pusiiiiiiiiing! Tak terasa sudah 10 menit aku berkali-kali meneleponnya, tak juga diangkat. Sampai hafal lagu oldiest itu. Tiba-tiba masuk ”Fuga” nada SMS dari Wibi.
”Say, maaf, aku lagi meeting. Dan sepertinya, kepulanganku ke Singapore dipercepat, setelah Master Plan jadi. Karena… Tanpa membaca SMS Wibi sampai selesai, aku langsung delete SMSnya.
”Klise semua! Basi! Aku harus pergi dari lelaki!” Lalu kumatikan HP, kutaruh dalam laci mejaku. Aku berdiri dan…
”Kak, kenalkan ini mas Dewa, yang kapan hari aku ceritakan, yang diributin anak-anak sanggar... Kenalkan mas, ini yang namanya mbak Rana.” Aku terpaku diam, pasif banget, ketika jemari kanan Dewa terulur di jemari tangan kananku, yang tiba-tiba saja sudah menjabat tangannya. Aku terlihat bego banget siang itu, karena Dewa begitu ganteng! Benar sekali yang dibilang model-modelku selama ini. Sutradara terbaik Festival Film Inde Indonesia ini cute, cool, hmm perfect man. Lebih bagus aslinya daripada fotonya. Trus, gimana dengan kalimatku tadi ya? Dia dengar nggak ya? Duh! Jadi kaku banget, kalau Dodo tak mencairkan suasana.
”Mas Dewa ini dah lama cari tahu tentang kakak. Beliau ingin, kakak nulis script filmnya yang baru…mas silakan duduk dulu…” Kuberanikan diri buat bicara. Menutupi semua ketololanku, karena memuja begitu saja tampilan fisik Dewa.
”Duh, makasih banget. Tapi gimana mas tahu, aku bisa menulis script itu dengan baik? Kahn masih banyak penulis yang bagus di Jakarta..sedang aku…” Dewa tersenyum, sambil menyibakkan rambut lurus sebahunya, hingga terlihat ada lesung pipit di pipi kirinya, waduh, tambah terhipnotis aku dengan lelakunya Tuhan! Nggak! Aku nggak boleh jatuh cinta lagi saat ini! Biar ngalir aja sendiri.
”Hmm. Gini Ran, aku panggil gitu aja ya. Aku telah lama terobsesi bikin sebuah film yang banyak bahasa gambarnya. Dan setelah aku diskusikan dengan produserku, kami memutuskan mengambil bukumu ”Kepak Elang” untuk kami garap. Dan rasanya, aku pas banget dengan gaya tulisan kamu untuk beberapa FTV yang sempat aku lihat. Maaf, kalau ini sebuah kejutan. Karena aku ya begini, apa adanya. Tiba-tiba ada, dan berharap bisa hehehe…” Walah, bahasanya rek-rek! Aku banget ya..hmmm. Senang sekali bukuku bisa jadi film, itu obsesi lamaku. Namun, ketika aku sebagai writer script
yang harus berdiskusi panjang dengan sang director, seorang Dewa. Bisakah aku untuk kerja profesional, tanpa melibatkan perasaan? Yang kurasakan saat ini? Bedebar-debar kencang banget. Ah, cinta yang aneh, kalau begitu saja aku mengatasnamakan ini cinta.
”Kak..piye toh? Kok malah diem…”
”Nggak papa. Butuh waktu buat menjawab Do. Karena ini sebuah pekerjaan besar bagi Rana, juga bagiku. Mengangkat sebuah novel yang penuh simbolik, mendayu dengan gaya bahasa sastra konvensional. Meski temanya metropop, tidak mudah. Butuh pemikiran tulisan yang bisa dimengerti orang tanpa kurangi maknanya. Meski hanya lewat bahasa gambar atau puisi….” Duh! Bukan itu yang membuatku terbungkam Dewa. Bukan! Ya sosok kamu itulah, Elang banget! Aku terjerembab dalam skenarioku sendiri. Dia sosok
Elang Lazuardi yang ada dalam Kepak Elang-ku. Dan edan! Masak aku jatuh cinta pada sosok imajinerku sendiri?
”Ok Rana. Aku balik dulu ke hotel, masih ada meeting dengan kawan-kawan.
Karena setting lokasi sebagian besar kan di sini, di kawasan Jarak. Harusnya sih malam ini kamu juga ikut, kalau bisa. Karena wacana setting di sini, tadi mendadak banget keputusannya. Seminggu yang lalu baru deal tentang novel apa yang bisa kita angkat, eh 2 hari yang lalu produsernya dah diminta investor untuk segera survey lapangan. Ke Surabaya, sekalian temui kamu. Tapi kata Dodo kamu mau ke Bali, Aku gambling aja tadi kesini, setelah landing. Teman-teman yang lain langsung ke hotel.
Ya. Ya, baru aku ingat, 2 hari yang lalu, Dodo telah sampaikan ke aku hal ini. Tapi sama sekali nggak aku gubris, karena soul-ku udah ke Bali, berkarya, bercinta dengan Timur.
”Kak…woi…ditunggu nih jawabannya.” Aku kembali tergagap, tak kuasa menatap tajam tatapan Dewa.
”Eh, ya, ya. Boleh, malam ini aku ikut meeting. Do, kamu ikut sekalian. Bawa mobil aja.” Segera kuambil laptop dan tas ranselku, kuikuti Dewa keluar ruang kerjaku…please, Tuhan..kali ini berilah aku petunjukMU tentang cinta yang sebenarnya…


Cerpen Cinta Dari : key dikirim pada tanggal 13 May 2007

This entry was posted on Kamis, Juli 30, 2009 and is filed under . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 comments